Jamiyyah Sholawat Al - Mumajjad
Sunday, November 6, 2016
Saturday, March 2, 2013
Makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Inti dari pelaksanaan maulid Nabi Muhammad SAW adalah untuk melahirkan rasa syukur, rasa berterima kasih kepada rasulullah SAW, dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kita kepada Rasulullah SAW. Kita beriman dan berislam itu karena karena perjuangan baginda Nabi Muhammad SAW, sehingga kita mengenal agama islam, kita mengenal Allah SWT, kalau diibaratkan begini, jikalau orang tua kita tidak kenal pada kanjeng Nabi Muhammad SAW, maka orang tua kita tidak akan iman dan islam. Kemudian beliau berdua menikah, karena beliau kenal kanjeng Nabi, maka menikahnya pun sesuai dengan caranya kanjeng Nabi Muhammad SAW, sehingga ketika beliau melahirkan kita, maka kita pun menjadi anak halal. Kita tidak menjadi anak haram, kenapa? Karena orang tua kita kenal kanjeng Nabi Muhammad SAW. Seandainya orang tua kita tidak kenal kanjeng Nabi, maka yang terjadi adalah kita tidak dipanggil sebagai anak halal, tidak usah jauh-jauh. Cukup itu saja, yaitu bersyukur karena kita terlahir sebagai anak halal. Oleh karena mensyukuri nikmat itu hukumnya wajib, maka mengadakan maulid Nabi Muhammad SAW pun hukumnya menjadi wajib. Sekarang begini, kalau kita punya emas sekwintal, apa itu bisa melunasi jasa-jasa orang tua? Tidak kan. Lalu, kalau gunung slamet berubah menjadi gunung emas, apa itu bisa untuk melunasi jasa-jasanya kanjeng Nabi? Tidak kan. Kalau begitu, maka jangan eman-eman, dan jangan sayang untuk memperingati kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW, dalam rangka memberikan penghormatan atas jasa-jasa beliau dan menanamkan kecintaan kita sebagai umat ummatnya.
Dahulu, pelaksanaan maulid Nabi Muhammad SAW, terbesar adalah di tanah Jawa oleh seorang ulama tersohor yaitu Habib Hasyim bin Yahya, yang dilaksanakan di masjid An Nur Pekalongan, dan di tempatnya Habib Abdullah bin Muhsin Bogor. Mauludnya diadakan selama seminggu dengan berbagai macam acara keagamaan dan sosial, Pada zaman itu kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW, dilakukan dengan sangat meriah dan berbalik ketika beliau mempunyai hajat seperti perniukahan/ kalau mantu, nikahan anaknya, acaranya malah dilakukan secara biasa-biasa saja, tidak semeriah ataupun tidak sebanding dengan kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW, terbukti dalam melakukan hiasan ruangan yang sangat indah, sangat megah, karena apa? Untuk menghormati kanjeng Nabi Muhammad SAW, Belum lagi kambingnya, kambingnya dipilih yang paling bagus seperti kambing untuk aqiqah, bahkan beliau langsung mengontrol sendiri kambing-kambingnya, jangan sampai ada cacat sedikitpun. Untuk apa? Untuk menghormati kanjeng Nabi. Pokoknya, semuanya harus benar-benar sempurna dan indah. Karena apa? Untuk menghormati kanjeng Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam
Penulis : Syukron Ma’mun, S.Pd.
Saturday, November 24, 2012
Pesan Padang Bulan Maulana Habib Lutfi
Kehadiran dan taushiyah Maulana Habib Luthfi bin Yahya memang selalu ditunggu dan dinanti-nanti oleh masyarakat. Hal itu pula yang terjadi ketika Beliau hadir dan memberi taushiyah di Desa Panggangsari pada Ahad, 23 September 2012 jam 13.00 WIB. Kurang lebih 1.300 jama’ah memadati komplek PP. Al-Qodiriyah Panggangsari, padahal informasi bahwa penceramahnya adalah Maulana Habib Luthfi baru diumumkan sejam sebelum acara dimulai.
Siang itu, Maulana Habib mengawali taushiyahnya dengan memberikan penjelasan bahwa pengajian haruslah menjadi kebutuhan, bukan hanya ramai-ramai, bukan hanya fii sya’aa-I rillah. Selanjutnya beliau menerangkan, bahwa setelah syahadat, di Islam ada tulang-tulang yang menopang tubuh (Islam).
Beliau memperinci, setelah Syahadatuttauhid dan syahadaturrasul. Umat muslim wajib tahu sifat-sifat 50 atau dalam bahasa jawa biasa disebut aqaa-id skeet yang meliputi 20 sifat wajib Allah, 20 sifat mustahil Allah, satu sifat jaiz Allah, empat sifat wajib Rasul, empat sifat mustahil Rasul, dan satu sifat jaiz Rasul. Dari 50 sifat tersebut, kemudian dibuktikan dengan perilaku.
Rukun Islam setelah syahadat adalah shalat. Perabot shalat seperti ruku’, sujud, dan lain-lain, bukan sekedar syarat. Arti yang lebih jauh, bathiniyyahnya diajak shalat, punggungnya diajak shalat, tangannya diajak shalat, kakinya diajak shalat, kepalanya diajak shalat, perutnya diajak shalat, matanya diajak shalat, telinganya diajak shalat, mulutnya diajak shalat, dan seluruh bagian tubuh termasuk organ-organ dalamnya diajak shalat. Ketika semuanya diajak shalat, semua anggota tubuh itu juga diajak untuk mengenal Yang Menciptakan yaitu Allah Ta’ala. Kalau sudah seperti itu, maka buahnya adalah hatinya kuat mengangkat syari’at perintah Allah dan Rasul-Nya, serta enggan untuk bermaksiat. Inilah yang di Al Quran disebut inna ash-shalaata tanhaa ‘an al-fakhsyaa-I wa al-munkar (sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar). Apalagi dalam shalat ada doa yang ditujukan untuk saudara-saudara seagama, seperti dalam tahiyyat,"assalamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillahi ash-shaalihiin", juga dalam al-fatihah,"ihdina ash-shiraathal mustaqiim". Doa ini juga merupakan pendidikan dari Allah kepada kita.
Selain itu, wudlu pun bukan hanya syarat saja, tetapi wudlu harus menembus bathiniyah, bathiniyahnya ikut dibasuh. Kalau seperti itu, maka masyarakat akan aman, tidak ada yang bertengkar, tidak ada yang membuka aib orang lain. Karena apa? Karena bathiniyah matanya ikut wudlu, telinganya ikut wudlu, mulutnya ikut wudlu, wajahnya ikut wudlu, semuanya ikut wudlu, hatinya ikut wudlu. Sehingga semakin memperkuat inna ash-shalaata tanhaa ‘an al-fakhsyaa-I wa al-munkar. Tandanya orang yang seperti itu apa? Tandanya adalah orang itu menjadi orang yang tawadlu’/rendah hati (mutawaadli’an), orang yang wara’ (mutawaari’an, wara’: hati-hati terhadap barang syubhat), orang yang beradab/berakhlakul karimah (muta-addiban). Mengapa begitu? Karna yang ada dalam hatinya hanya rasa bahwa ana ‘abdun dla’iifun faqiirun jaahilun fii finaa-ika (saya adalah hamba yang sangat lemah, sangat faqir, sangat bodoh di pelataran-Mu).
Selanjutnya beliau menambahkan, kalau orang matanya, telinganya, mulutnya, wajahnya, dan seluruh anggota lainnya ikut wudlu’, maka bathiniyahnya dibuka. Dibuka untuk apa? Untuk pengamalan inna ash-shalaata tanhaa ‘an al-fakhsyaa-I wa al-munkar.
Semuanya dalam tubuh ini bisa dilatih, ibarat orang berlatih pencak silat, kalau sudah terlatih, maka refleksnya ketika jatuh atau terpeleset pun seperti ketika berlatih silat. Begitu juga omongan, kalau omongan dibiasakan yang baik-baik, kalimah thayyibah seperti Alhamdulillah, subhanallah, Allahu Akbar, laa ilaaha illallah, dan lain-lain, maka seandainya terpleset dan jatuh maka yang akan keluar alhamdulillah, seumpama dia terbiasa mengucapkan alhamdulillah. Kalau dia terbiasa mengucapkan hewan piaran kaki empat, ya itu juga yang nanti keluar, bahkan ketemu dengan teman lama pun yang keluar hewan kaki empat. Nah, yang bahaya itu kalau lagi sakaratul maut, karena sakitnya dan tidak terbiasa mengucapkan kalimah thoyyibah, maka yang keluar dari mulutnya ya hewan kaki empat itu, atau kata-kata yang tidak pantas lainnya, tapi kalau terbiasa mengucapkan laa ilaaha illallah, maka ketika mengalami sakitnya sakaratul maut, yang keluar dari mulutnya adalah laa ilaaha illallah.
Maulana Habib membagi persaudaraan di Indonesia menjadi dua, yaitu: (1) sedulur seagama setanah air, dan (2) sedulur sebangsa setanah air. Kedua-duanya wajib dijaga agar tidak pecah, agar tetap bersatu dan bersaudara. Mengenai cinta tanah air, Maulana Habib menjelaskan betapa pentingnya cinta tanah air, salah satu contohnya dengan menghormati bendera merah putih. Meskipun jahit atau bikin merah putih itu gampang, namun banyak darah yang mengucur, banyak pengorbanan yang penuh rasa sakit demi menurunkan bendera belanda dan menggantinya dengan bendera merah putih. Sehingga sebagai anak Indonesia kita harus mempunyai penghormatan yang luar biasa kepada merah putih, harus menyucinya dan merawatnya dengan penuh perasaan cinta.
Selain itu, Maulana Habib sedikit menyinggung pula mengenai penghormatan dan kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW. Maulana Habib menjelaskan bahwa apabila ada orang di luar Islam yang menjelek-jelekkan Nabi Muhammad SAW itu terjadi karena adanya peluang yang dibuka oleh orang Islam sendiri. Beliau mengibaratkan seandainya di suatu desa ada kiai yang usianya sudah sepuh, dan lurahnya usianya separuh dari kiai tersebut, kemudian kiai tersebut itu memanggil lurah hanya dengan lurah, tanpa ada embel-embel nak, dek, mas, pak, atau penghormatan lainnya, maka itu sama saja kiai tersebut membuka celah untuk tidak menghormati dan menghargai lurah, kalau lurah sudah tidak dihormati maka desa tersebut tidak akan memiliki kewibawaan, namun jika kiai tersebut memanggilnya dengan nak lurah, atau dek lurah, atau mas lurah, atau pak lurah, itu menunjukkan hormat pada pak lurah, maka seandainya seluruh warga desa menghormati pak lurah, maka desa tersebut bisa aman, dan tentram, karena begitu hormat dan cintanya warga pada pak lurah, kalau pun ada masalah pribadi dengan pak lurah, itu tidak mengurang rasa hormat dan cintanya pada beliau sebagai lurah.
Maulana Habib selanjutnya mengkontekstualisasikan ibarat tersebut kepada kecintaan terhadap Baginda Nabi Muhammad SAW. Menurut beliau, apabila di umat muslim ada orang yang melarang maulid Nabi Muhammad SAW, melarang memanggil Nabi Muhammad SAW dengan kata sayyidinaa atau hanya memanggil dan menyebut nama Nabi Muhammad hanya dengan kata Muhammad, tanpa embel-embel, seperti dalam kalimat “Muhammad berkata”, itu sama saja membuka peluang orang lain untuk menghina Nabi Muhammad SAW, karena umatnya sendiri tidak menghormati Nabi Muhammad SAW, namun kalau kita selaku umat Nabi Muhammad SAW, ketika menyebut nama Nabi Muhammad diiringi rasa bangga dengan kata sayyidinaa, atau baginda, atau kanjeng Nabi, atau miniman Nabi, maka orang lain pun akan memandang segan dan hormat pada beliau, karena ternyata kita sebagai umat begitu cinta dan hormat pada beliau baginda Nabi Muhammad SAW. Selain itu, hakikatnya, pemanggilan Nabi Muhammad SAW dengan sayyidinaa atau pengagungan yang lain itu bukan untuik mengagungkan beliau semata, tapi juga mengagungkan kita selaku umat Nabi Muhammad SAW. Kita selama ini diusahakan untuk tidak cinta dan tidak hormat pada Nabi Muhammad SAW, ahlil bait, dan ‘ulama, dan salah satunya adalah dengan orang-orang yang mengharamkan maulid Nabi Muhammad SAW dan mengharamkan memanggil Nabi Muhammad SAW dengan sayyidinaa.
Dalam kesempatan tersebut, Maulana Habib juga menjelaskan bahwa manaqib dan maulid mempunyai dasar di Al Quran. Kisah ash-habul kahfi di dalam surat Al-Kahfi merupakan salah satu contoh manaqib auliya’ yang ditulis di dalam Al Quran. Adapun contoh maulid lebih banyak lagi, seperti kisah kelahiran Nabi Musa, kisah kelahiran Nabi Yahya, kisah kelahiran Nabi Isa, dan lain-lain.
Kalau kemudian membaca maulid Nabi Muhammad SAW diharamkan, maka membaca maulid atau kisah kelahiran Syaikh Syarif Hidayatullah lebih haram lagi. Lalu ada pertanyaan, kenapa kok kisah kelahiran Nabi Muhammad tidak tertulis di Al Quran? Apa itu tanda bahwa Nabi Muhammad SAW lebih rendah dari Nabi-nabi yang maulidnya disebutkan di Al Quran?
Dalam keterangannya, Maulana Habib menjelaskan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW dilahirkan itu saksinya banyak. Selain itu, Nabi Muhammad juga sudah disebutkan di kitab-kitab terdahulu yaitu taurat, zabur, dan injil, bahkan di Al Quran ada surat yang bernama Muhammad.
Selanjutnya Maulana Habib menegaskan, bahwa dua asma Allah itu diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu sesuai dengan ayat,
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم
Sesuai dengan ayat tersebut, dua asma yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah rauufun dan rahiimun.
Selain itu, banyak orang yang mengatakan Nabi Muhammad itu manusia biasa sama seperti manusia umumnya. Ini pendapat yang keliru dan tidak berdasar. Allah Ta’ala berfirman,
قل انما انا بشر مثلكم يوحى اليّ
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa basyarunnya Nabi Muhammad SAW tidak bisa disamakan dengan basyarun manusia yang lain umumnya. Mengapa? Dalam basyarun Nabi Muhammad SAW itu ada empat bagian, yaitu: (1) basyarun mukhtaarun (manusia pilihan), (2) basyarun ma’shuumun (manusia yang suci dari dosa), (3) basyarun mahfuuzhun (manusia yang dijaga), dan (4) basyarun nabiyyun wa rasuulun (manusia yang menjadi Nabi dan Rasul).
Selanjutnya, Maulana Habib juga menjelaskan mengenai unsur-unsur pendidikan yang ada di dalam puasa dan zakat. Puasa menurut Maulana Habib merupakan alat untuk membersihkan jiwa dan raga, sedangkan zakat bersama shadaqah dan infaq merupakan alat untuk membersihkan harta dan dunia.
Adapun mengenai haji, Maulana Habib menjelaskan dalam haji pun terdapat pendidikan yang bersifat ahwaaliyah dan af’aaliyah, bukan hanya bicara. Di haji, di lingkungan Ka’bah itu sudah berapa kali ada telapak kaki Anbiyaa’ dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW, belum lagi telapak para sahabat, para auliyaa’, para ‘ulama. Sehingga kaki ahli haji itu menginjak bekas-bekas telapak kaki para Nabi, sahabat, auliyaa’, dan ‘ulama, terutama kaki Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, seharusnya kaki orang yang sudah haji harusnya malu melangkahkan kakinya untuk hal-hal yang tidak baik, kakinya dieman-eman. Selain itu, hajar aswad pun sudah dicium oleh para Nabi, dan auliya’, sehingga sepulang dari haji mulut yang sudah digunakan untuk mencium hajar aswad dieman-eman, tidak digunakan untuk berbicara yang tidak baik. Kenapa? Karena mulutnya telah mencium batu yang pernah dicium pula oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Lha wong wedhang bekas minum wali, kiai saja dijadikan rebutan karena berkahnya, apalagi yang bekasnya Nabi Muhammad SAW, berkahnya lebih besar. Selain itu, dalam sa’I pun ada pendidikan di dalamnya, karena sa’I merupakan ‘ibrah dari jerih payah orang tua, sehingga sepulang dari haji, aplikasinya sa’I itu adalah semakin ta’at dan patuh kepada orang tua.
Mengenai haji ini, Maulana Habib kembali menjelaskan, bahwa orang yang haji, kalau sudah memakai pakaian ihram, maka mencabut sehelai rambutnya sendiri saja itu tidak boleh, kena dam, apalagi mencabut rumput-rumput yang kecil, menebang pohon, membunuh hewan-hewan, melukai sesama manusia. Sehingga sepulang dari haji, tidak akan menyakiti orang lain.
Maulana Habib juga berpesan kepada calon jama'ah haji agar ketika keluar dari rumah diniatinya ziarah tanah haramain, bukan diniati haji, niat haji kalau sudah di sana. Dan ketika haji hilangkan semua embel-embel jabatan, kekayaan, buang perasaan sebagai pejabat, sebagai kiai, sebagai orang kaya, dan lain-lain. Yang ada hanyalah perasaan bahwa diri ini adalah hamba Allah. Pasrah total pada Allah, karena hakikatnya semua sudah diatur oleh Allah, adapun ikhtiar itu hanya ziadatut tha'ah (menambah ketaatan), bukan segalanya.
Selain itu, Maulana Habib pun berpesan kepada jama’ah haji yang akan berangkat agar ketika haji berdoa, “yaa Rasulallah, kulo nyuwun dipun aku umate panjenengan dunia akhirat”, setelah doa itu menitipkan diri sendiri dan istri (atau kalau istri, diri sendiri dan suami) kepada Allah Ta’ala, seperti dengan lafazh, “Ya Allah, tawakkaltu wa zaujatii ‘alaika, ya Allah kula nitipaken awak kula lan istri pasrah marang Panjenengan, kula lan istri nyuwun Panjenengan atur tindak lampah kula lan istri ten mriki marang ta’at maring Panjengengan, kuat nglampahi syar’iate Panjenengan, kuat ibadah marang Panjenengan”.
Selanjutnya Maulana Habib juga member i pesan agar tidak lupa mendoakan anak-anak agar menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah, anak-anak yang bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua, lalu berdoa untuk kedamaian dan kesejahteraan Indonesia, setelah doa itu, lalu silahkan doa yang lain. Tetapi, dua doa yang disebutkan awal tadi yaitu doa untuk anak-anak dan untuk Indonesia menjadi doa yang utama.
Sebelum menutup taushiyahnya, Maulana Habib membawakan penggalan lagu padhang bulan karya beliau, dan memberi penafsiran di bait awal lagu padhang bulan.
Padhang Bulan, padhange koyo rino (maksudnya adalah selagi kita masih ada kesempatan, selagi masih muda, selagi masih kuat), Rembulane seng awe-awe (Rembulannya mengingatkan kalau kita semakin tambah umur, semakin mendekati kematian), Ngelingake ojo turu sore (Mengingatkan agar memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu, untuk beribadah),
Kene tak critani kanggo sebo mengko sore (Penggalan ini dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Giri, sebo artinya sowan, maksudnya untuk bekal menghadap kepada Allah). Wallahu a’lam (sumber http://www.habiblutfiyahya.net)
Karomah Wali
“Karomah wali” bagian materi yang disampaikan oleh Habib lutfi dalam peringatan khaul Syaikh Abu Hasan Ali al-Syadlili di Desa Pajomblangan Kedungwuni.
Karomah yang dalam bahasa jawa disebut “keramat”,atau dalam istilah lain mukjizat,( pemakaian kata mukjizat ini aviliasinya lebih ke para Nabi maupun Rasul), sering disalah artikan. Banyak yang mengaviliasikan karomah ke suatu hal yang bersifat mistis, aneh, dan irasional. Status kewalian para wali yang hanya di pandang dari sudut bagamaiana seorang wali ini mampu melakukan hal-hal yang bersifat irasional tentunya bukanlah hal yang tepat, walupun keramat itu benar adanya, namun ini tidak bisa dijadikan justfikasi untuk membuktikan kewalian para wali. Karena menurut Abah Lutfi seorang wali itu bukan hanya seorang yang mampu mengeluarkan keramat saja,keramat itu keluar pada waktu-waktu tertentu dan ketika dibutuhkan, kalau tidak dibutuhkan ya tidak bisa keluar. Dari sini kita juga harus melihat bagaiamana seorang wali berjuang dan terutama memberi maslahah, memberi solusi terhadap permasalahan-permasalahan ummat dan lain –lain.
Wali yang dibutuhkan dewasa ini bukanlah wali yang hanya berkeramat itu tadi, namun lebih ke bagaimana wali mampu memberi maslahah li al-Ummat, sejauh mana wali mampu memberi perubahan baik di bidang ekonomi dan lain-lain. Syaikh Abu Hasan Ali al-Syadlili ketika umur tujuh tahun sudah mampu memberi perubahan terhadap perekonomian menjadi bukti akan hal itu, wali songo yang sudah meninggal yang sampai sekarang masih bisa memberi kehidupan para pedagang disamping makam-makamnya pun juga sebuah bukti nyata akan kewalian para wali.
Mari kita lihat Rasulullah sendiri,mukjizat terbesarnya adalah al-Qur’an, mengapa tidak sebagaimana nabi Musa yang mempunyai mukjizat membelah laut dengan tongkat, bagi nabi Isa yang mempunyai mukjizat menyembuhkan orang sakit lepra hanya semata-mata dengan menjamah.
Maka timbullah pertanya’an, mengapa mukjizat nabi Muhammad hanya al-Qur’an yang dibaca, atau satu kitab yang dipelajari, bukan sebagaimana mukjizat yang mengagumkan akal? Mengapa tidak sebagaimana yang ada pada nabi Musa, Mengapa tidak api yang tidak menghangusi nabi Ibrahim, atau sebagai nabi Isa yang menyembuhkan orang buta dan lepra itu.
Orang-orang musyrikin di Makkah dahulupun pernah meminta supaya Nabi Muhammad Saw. menunjukan suatu mukjizat, misalnya bukit shafa menjadi emas, atau beliau sendiri mempunyai sebuah rumah dari emas, dan beberapa permintaan yang lain.. Tetapi permintaan mereka tidak dikabulkan oleh Allah atau tidak memandang itu lebih penting dari mukjizat al-Qur’an. Beberapa hadits sahih yang telah diriwayatkan dari sahabat beliau, bahwa beliapun pernah mempertujukkan mukjizat yang aneh-aneh dan ganjil, misalnya keluar air yang diminum oleh 1200 orang dari dalam timba beliau yang kecil di Hudaybiyah, atau hujan lebat disekitar kemah tentara saja dan tidak turun di tempat lain sehingga semuanya dapat menampung air, yang banyakinya 30.000 orang dalam perjalaanan kepeperanga Tabuk dan bebrapa mukjizat yang lain. Tetapi mukjizat-mukjizat yang demikian tidaklah beliau jadikan tantangan kepada kaum musyrikin. Beliau menentang lawan hanya dengan mukjizat al-Qur’an. Dengan al-Qur’an beliau mengokohkan risalatnya dan dengan al-Qur’an belaiu menambah iman pengikut-pengikut belaiu, kaum yang beriman, sampai hari kiamat.Mukjizat seorang Rasul ataupun seorang nabi selalu disesuaikan Tuhan dengan zaman hiduap Rasul atau Nabi itu sndiri, dan harus sesuai pula dengan macam-ragam risalat yang dibawanya. Apabila risalatnya itu adalah risalat yan g nyata untuk seluruh manusia, yang kekal dan tidak akan berubah lagi sampai selama-lamanya, hedaklah mukjizatnya itu yang kekal dan merata pula, yang kian mendalam orang berfikir, kian mengakui akan mukjizat itu. Mukjizat sekali-kali tidak akan kekal, kalau dia hanya merupakan suatu kejadian yang dapat dilihat mata disuatu masa. Sebab apabila Rasul yang membawa mukjizat itu telah berpulang ke rahmatullah, mukjizat itu tidak akan bertemu lagi. Dan ada pula suatu kejadian yang dipandang mukjizat dizaman hidup nabi yang bersangkutan, namun setelah beberpa abad di belakang, mukjizat itu tidak ada lagi karena kemajuan ilmu pengetahuan. Sebab itu maka mukjizat yang diberikan kepada nabi Muhammad bukanlah mukjizat untuk dilihat mata dan panca indra (hissi), tetapi untuk dilihat hati dan meminta pemikiran (maknawi). Mukjizat hisi telah habis pengaruhnya dengan habis zamanya. Mukjizat Musa dan Isa hanya dilihat oleh manusia yang sezaman dengan beliau.
Sebagaimana mukjizat nabi Musa dan Isa yang sudah lapuk termakan zaman, begitu juga keramat wali dimasa sekarang ini. Mari, Jangan kita jadikan keramat sebagai patokan dalam menilai kewalian para wali, wilayah keramat dan tidaknya bukanlah kita yang menentukan.. Apalagi dizaman dimana ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab segala permasalahan-permasalahan yang ada, karna wali yang dibutuhkan dewasa ini bukanlah wali yang demikian adanya, Rasul sendiri menghadapi tantangan kaum Musrikin dengan kemukjizatan al-Quran bukan yang lain, walaupun Rasul mampu.
Untuk itu mari kita tepis anggapan-anggapan yang mendeskreditkan tariqat/tasawuf, atau yang mengatakan bahwa bertasawuf/berthariqat berpotensi terhadap kemunduran atau stagnasi ilmu pengetahuan dengan hanya memandang sisi kewalian dari adanya keramat-keramat itu tadi. Bukti Syaikh Abu Hasan Ali as-Syadlili diatas merupakan bagian dari jawaban bahwa anggapan itu tidak tepat, belum bukti-bukti yang lain, seperti suksesnya pergerakan ekonomi berbasis masyarakat thariqah muridiyyah di Senegal, as-Syadliliyyah di Afrika Selatan dan lain-lain. Keberhasilan ulama-ulama tasawuf diatas merupakan bukti bahwa sebenarnya mereka disamping bertasawuf/berthariqat, mereka juga sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Habib Lutfi dalam setiap kesempatan pun selalu terus menerus mengajarkan tentang betapa pentingnya ilmu pengetahuan, beliau tidak pernah membatasi ilmu hanya terpatok pada ilmu agama saja. Kepada murid-muridnya beliau selalu mendukung mengenai ilmu yang dipelajari, baik itu terkait ilmu umum seperti kedokteran, pertanian,perekonomian dan lain-lain. Dibalik kemursyidan tahriqahnya beliau juga tidak terlepas dari tokoh/ulama yang punya tanggung jawab menuntun ummatnya dari hal ikhwal keduniaan menuju hal ikhwal keakhiratan.Wallahu A’lam..! (sumber http://www.habiblutfiyahya.net)
Friday, May 4, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)